Jumat, 04 Mei 2012

Cerpen : Tema Pendidikan

D’iyon Pardon

Hari ini indah, begitu juga esok. Musim panas telah tiba setelah musim hujan tertidur lelap di masa yang telah berlalu. Hmm.... aku masih seperti ini, selalu seperti ini, dan mungkin akan seperti ini. Mengenal sosok individu sebagai sebuah cermin bagi diriku. Bercermin dari pribadi asing orang lain. Yach... seperti inilah aku.
Di kota asing ini, kujalani hidup sebagai seorang pendidik. Ya... mendidik dari hasil didikan guru – guru ku dulu. Tinggal di sebuah kosan milik Pembantu Dekan 1 yang lokasinya tidak begitu jauh dengan kampus tempatku mengajar. Di kos ini ku dan teman – teman berkumpul. Merasakan bagaimana rasanya menjadi dosen perantau. Sungguh jauh kaki ini melangkah hanya untuk menyampaikan ilmu dan berbagi pengalaman. Jawa – Riau bukanlah tempat yang dekat dan tentu saja budaya masyarakat di sini sudah berbeda dengan budaya ku di kampung halaman. Namun, apapun rintangannya hidup harus dilanjutkan.
***
Dari sudut ruangan terdengar sapa seorang gadis yang akrab kupanggil nak, “Pak D’iyon.... Pardon me.. all about mistake past week, please.... i hope so”. Dengan wajah memelas gadis imut itu menghampiriku untuk mengucapkan maaf atas kejadian minggu lalu dalam logat english basic indonesia. Lumayanlah....Sedikit variatif ditelinga. Modernisasi bahasa di tempat kumengajar yang sudah tidak asing lagi dan menjadi santapan pendengaranku setiap harinya. Belajar dari beragam bahasa yang terkadang sulit ku mengerti.
Dia anak didik ku yang cuek, sedikit usil, lumayan berprestasi, tapi bandel minta ampun. Tapi dia tetap anakku dengan karakter khasnya. Ku baru mengenalnya 1 semester yang lalu. Namanya sedikit aromatis jepang, “Yen” begitulah ia biasa dikenal di kalangan individu kampus tempat ku mengajar. “Pardon... Pardon..... Pardon..”, sepenggal kata yang membuatku luluh dari asa berion negatif yang bersarang semenjak dia bertingkah aneh sepanjang minggu musim hujan lalu. Mendekatiku dengan segala macam argumennya yang mengejutkan paradigma berpikirku dan memaksaku untuk menganalisis makna hidup. Ya hidup, yang selama ini ku anggap sebagai hari – hari yang monotone, kampus – rumah – kampus. Ngajar – FB – Travelling – Bola – Travelling – FB – Ngajar, sungguh membosankan.

Hadirnya beri pencerahan..
Hadirnya buat ku mengenal engkau..
Hadirnya dalam harap..
Menjadikan aku berfikir akan engkau ya rob..
Hadirnya membelai sepiku..
Senyumnya sejukkan hatiku..
Namun.......

Akh...... sebait puisi yang membosankan. Kenapa harus dia yang mengisi sepiku. Dia membosankan.. usil.. dan buat hari ku mencekam tak terarah. Menyita waktu ku mengajar, waktu istirahat ku dengan beberapa sms yang aneh dan tidak mencerminkan pribadinya. Antara karakter, sikap dan keseharian dia sungguh berbeda dengan apa yang ia tulis dalam sms. Ku bosan dengan hidup ku yang seperti ini. Namun, dia pernah menghiburku, disaat aku butuh teman, disaat aku jatuh dan lalai. Namun, dia hanyalah anak didik ku. “Pardon.... Pardon... Pardon....”, apa yang harus ku katakan atas kata pardon itu? Hati ku berbagi, aku seharusnya tidak boleh seperti ini terus menerus. Seharusnya aku melihat apa yang disampaikan dan bukan dari apa dan siapa yang menyampaikan.
Aku terlalu egois untuk menerima pendapat orang lain. Karena menurutku, setiap apa yang disampaikan haruslah disesuaikan terlebih dahulu dengan pribadi yang menyampaikan, sangat rugi jika pribadi menjadi lilin yang menyala untuk menerangi orang lain walaupun dirinya hancur. Aku sulit menerima sikap anak ku yang satu ini, hingga sulit bagiku mema’afkan karakternya yang aneh dan beda dari anak didik ku yang lain. Tapi, bukankah Allah subhanahu wa ta’ala Maha Pemaaf, kenapa aku harus melebihi kuasanya hanya keegoisanku untuk tidak memaafkan anak ku yang telah mengakui kesalahannya. Anak ku, andai aku sanggup mengatakan bahwa aku telah memaafkan mu, alangkah bahagianya engkau kala itu. Akh... aku terlalu naif tuk mengatakan aku juga hamba biasa. Aku terlalu naif untuk menerima ketidak sempurnaan seorang hamba, walaupun aku sadari aku juga seorang hamba. Kenapa posisi sebagai dosen menjadikan aku angkuh dan tidak mudah memaafkan. Padahal aku tahu ya rob, kau Maha Pengampun hamba – hamba mu yang kembali. Ya rob.. kau Maha meluluhkan hati. Ya rob.. luluhkan hati hamba dari rasa yang menyesakkan ini, ampuni dosa – dosa hamba mu ini ya Rabb..
***
Seperti biasa malam hari ku buka FB ku, di beranda ku melihat status anak ku.
Yen _ “Saat kesempatan dan kata maaf tertutup pada endingnya.
Kita mungkin pernah menjadi orang yang terlalu egois, terlalu pasrah, terlalu usil, terlalu pendiam, terlalu binal, terlalu girang, dsb. Apakah kita bisa menyalahkan diri kita ataupun orang lain jika diantara kita terjadi ketidak sepahaman dalam hal karakter? Aku gk suka yg seperti ini.. Aku gak suka yg seperti itu.. Emang aku apaan?... Emang dia siapa?.. Mungkin terlintas dipikiran kita, diucapan kita hal seperti itu, merasa dilecehkan, merasa dipermainkan, marah, ingin mempertahankan diri, dsb.
Tapi pernah gak kita menganalisis kejadian2 yg membuat kita berbeda dg orang lain dalam hal tabiat, karakter, paradigma, respon, dsb? Pernah gak kita kaji tentang kejadian2 yg tidak mengenakkan hati selama kita hidup?
"KUN FAYAKUN"... apa makna dahsyat dari sepenggal kata dan kuasa Allah subhanahu wata'ala ini? Kun fayakun, jika jadi maka jadilah ia.
Bukankah segala sesuatu itu ada yg mengaturnya. Tidak akan ada suatu kejadian jika tidak ada izin dari zat yang maha agung hingga kejadian itu terjadi.
Jika kita di usilin orang lain, jika kita dicaci orang lain, dan segala rasa yang tidak enak. Kenapa kita gk ingat KUN FAYAKUN itu? Bukankah segala yg terjadi itu karena Allah telah mengizinkan kejadian itu terjadi.
Apakah kita masih membatasi diri hanya karena satu atau dua masalah? Kemana analisis kita tentang sebait kata yg maha dahsyat itu?
Maafkanlah dengan ikhlas dan jangan pernah memutuskan hubungan silaturrahmi hanya karena sesuatu yang telah Allah tulis tuk terjadi, Bukankah Allah Maha Pemaaf, apakah pantas seorang hamba melebihi Allah hanya karena enggan memaafkan?
Belajarlah dari Kemaha maafan Allah dan Sebait kata KUN FAYAKUN.
(Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.)_ TQS. Yaasiin,36 : 82.”
Astaqfirullahal’azim, makhluk seperti apa aku ini ya Allah... Aku khilaf membiarkan tindakan ku ini menyakiti hamba mu yang lain ya Allah..
Status yang sungguh membuat ku banting stir untuk memberi “thumb” buat status anak ku ini. Begitu banyak yang ku lupakan tentang ajaran mu ya Allah.. Astaqfirullahal’azim, pendidik seperti apa aku ini. Hanya karena aku dosen ku jadi angkuh dan tidak mau mema’afkan. Astaqfirullahal’azim...
Keesokan malamnya ku buka lagi FB ku, di beranda lagi – lagi ku melihat status anakku :
Yen _ “Penilaian yg paling objektif adalah dr orang lain. Namun, apakah penilaian itu valid hasilnya jika penilai hny memandang dr luaran sja? Ku rasa penilaian spt ini gk da valid2 na sama sekali. Semua bisa dibuat2 dan dimanipulasi hny tuk sebuah penilaian. Aku ya aku, aku gk suka menipu hny tuk menampilkan bhwa aku yg terbaik. Ya... beginilah aku. Krn gk da manusia yg luput dr salah dan khilaf, jika ad yg kontra, gak masalah, ku jalani hidupku sendiri selama di sini. Siapa mereka? apa urusan mereka mnjabarkan karakterku. Menjustice jalan hidup yg ku ambil, memberi label atas tindakan ku. Lau gk suka, so fine. Pergi jauh2 dari ku. Ku gk mengundang siapapun dtg. Namun, ku selalu membuka lebar silaturahmi. Krn itu bagian dr perintah. Sami'na wa ato'na.”
Kembali tersentak saat ada kiriman di e_mail ku malam itu :
Judul : Muhasabah.

Rosulullah sholallahu ‘alaihi wassallam bersabda : “Barangsiapa mensunnahkan dalam islam kebaikan maka baginya pahala apa yang ia lakukan dan pahala orang yang mengerjakan setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya. Dan barang siapa mensunnahkan kejelekan dalam islam maka baginya dosa dan dosa orang yang mengerjakan setelahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).
Astaqfirullahal’azim... peringatan apa ini. Sungguh aku merasa malu akan tindakan yang telah ku lakukan pada anak didik ku. Ku terlalu angkuh tuk menerima hidayah mu, menerima kebenaran yang kau sampaikan melalui anak kecil yang selalu menyadarkan ku bahwa aku memang harus di sadarkan. Walaupun anak kecil ini masih dangkal pemahaman agamanya. Namun semangatnya luar biasa, selalu menyampaikan kebenaran itu walaupun satu ayat. Sedangkan aku? Aku sibuk dengan kewajiban mendidik dan tugas ku sebagai dosen. Hingga aku tidak sempat untuk melanjutkan pengajian sebagaimana yang ku peroleh di saat jadi Mahasiswa dulunya. Kenapa aku tidak menyadari hal itu dari dulu. Demi kebaikanku sebagai pendidiknya, anak kecil ini merelakan waktunya 5 kali sehari hanya tuk mengajarkan aku sepatah perintah dan larangan. Tidak pernah lelah mengajarkanku via sms dan status. 
Namun, kata – kata ku terlalu kasar untuk anak seusia dia. Ku tegur dia dengan kata – kata yang memang tidak memposisikan aku sebagai pendidik. Sungguh aku sangat menyesal telah mengeluarkan kata – kata yang tidak pantas dan sangat menyakitkan. Aku malu dengan tindakan gegabah ku yang selalu saja menuruti hawa nafsu ku tanpa ku berpikir dampaknya. Anak ku menangis mendengarkan kata – kata yang telah ku lontarkan sebagai bentuk kontra dengan usahanya untuk mendekati ku. Sehingga aku memutuskan silaturahmi yang baru beberapa bulan dan dia pun memblokir akun FB ku malam itu juga.
Kenapa aku jadi seperti ini? Astaqfirullahal’azim.... Andai kau tau anak ku, bapak yang seharusnya minta maaf padamu, bapak sadar ulah mu selama ini untuk mengingatkan bapak dari jalan yang selama ini jarang bapak lalui. Andai saja ada kesempatan untuk bertemu denganmu lagi, andai saja sms pemutusan silaturahmi itu tidak bapak kirim pada mu hari itu, mungkin kau tidak akan sesedih ini. Andai saja....

Created By : Yenni Sarinah
Juara 3 Menulis Cerpen Tingkat Universitas Se-Pekanbaru Riau 2010
Reporter LPM AKLaMASI UIR
03 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar